Brawijaya University

Brawijaya University
Brawijaya University

Kamis, 03 Januari 2013

PLANKTONOLOGI


KASUS YANG TERJADI DI LINGKUNGAN PERAIRAN YANG DI SEBABKAN OLEH PLANKTON DAN DAMPAKNYA TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (Study kasus : Kelimpahan Plankton Di Ekosistem Perairan Teluk Gilimanuk,Taman Nasional,Bali Barat)


PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kawasan pesisir merupakan daerah pencampuran antara rezim darat dan laut, serta membentuk suatu keseimbangan yang dinamis dari masing-masing komponen. Interaksi antara hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang dengan lingkungannya di perairan pesisir mampu menciptakan kondisi lingkungan yang sangat cocok bagi berlangsungnya proses biologi dari berbagai macam jenis organisme akuatik. Kawasan pesisir yang memiliki ketiga ekosistem tersebut biasanya memiliki produktivitas yang sangat tinggi. Di samping itu, secara ekologis ketiga ekosistem tersebut  mampu berperan sebagai penyeimbang stabilitas kawasan pesisir, baik akibat pengaruh darat maupun dari laut (Den Hartog, C. 1970)
Perairan di sekitar hutan mangrove memiliki peranan dan memegang kunci dalam perputaran nutrien, sehingga eksistensinya dapat berperan dalam menopang dan memberikan tempat kehidupan biota laut, apabila lingkungannya relatif stabil, kondusif dan tidak terlalu berfluktuatif. Begitu halnya juga dengan padang lamun, para pakar mengemukakan bahwa fungsi utama lamun adalah dalam pendauran zat hara yang sangat diperlukan bagi kehidupan biota laut Pesatnya kemajuan pembangunan dan tingginya kebutuhan hidup manusia, berdampak negatif  terhadap kualitas dan kuantitas ekosistem tersebut. Kondisi tersebut saat ini sudah terjadi pada sebagian besar kawasan pesisir di Indonesia, antara lain di sepanjang pantai utara Jawa, pesisir Sulawesi, pesisir Teluk Saleh (Sumbawa), pantai barat Pulau Lombok dan di beberapa pesisir di kawasan Propinsi Kalimantan Timur (Praseno.2000).
Terkait dengan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas luasan kawasan pesisir di beberapa daerah di Indonesia tersebut diatas, kawasan pesisir Gilimanuk merupakan salah satu kawasan pesisir yang kondisinya masih relatif baik. Kawasan pesisir Teluk Gilimanuk tersebut sudah lama dicanangkan sebagai Taman Laut Nasional Bali Barat, Propinsi Bali, namun informasi, baik yang menyangkut keberadaan ketiga ekosistem tersebut maupun biota yang hidup berasosiasi didalamnya masih sangat terbatas atau bahkan belum ada.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Metode Penelitian
Pengamatan plankton dilakukan di perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional, Bali Barat. Perairan ini relatif dangkal dengan kedalaman air antara 5 – 10 m. Contoh plankton diambil dari 10 stasiun dengan menggunakan jaring plankton dengan spefikasi tertentu sesuai dengan jenisnya: ntuk fitoplankton digunakan jaring plankton dengan ukuran mata jaring 80 µm, diameter mulut jaring 0,31 m dan panjang jaring 100 cm; untuk zooplankton digunakan jaring plankton dengan ukuran mata jaring 300 µm, diameter mulut jaring 0,45 m dan panjang jaring 180 cm.
Pada setiap mulut jaring plankton dilengkapi dengan  “flowmeter” untuk mengukur volume air yang masuk kedalam jaring. Pengukuran volume air tersaring dihitung dengan rumus : V = R. a. p
V :  volume air tersaring ( m3)
R :  Jumlah rotasi baling-baling  flowmeter
a  :  luas mulut jaring
p  :   panjang kolom air ( m) yang ditempuh untuk satu rotasi
Sampling dilakukan secara horizontal pada permukaan perairan yang ditarik selama 2 – 3 menit dengan kecepatan konstan. Sampel dikoleksi dalam botol sampel yang diberi formalin dengan konsentrasi 4 % dan kemudian dicacah dan diidentifikasi di laboratorium dengan menggunakan mikroskop high power.
Pencacahan fitoplankton dilakukan dengan menggunakan “Sedgwik-Rafter Counting Cell” atas fraksi sampel dan hasilnya dinyatakan dalam sel/m3. sedangkan untuk sampel zooplankton pencacahan dan identifikasi dilakukan dengan menggunakan cawan Bogorov dan hasilnya dinyatakan dalam individu/m3 (Wickstead, J.H. 1965.).
2.2. Fitoplankton
Dari hasil penelitian pada bulan Maret 2006 tercatat komposisi marga fitoplankton di perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional, Bali Barat berjumlah 13 marga, yang terdiri dari 10 marga diatom  dan 3 marga dinoflagellata, komposisinya didominasi oleh marga diatom. Marga diatom yang mempunyai frekuensi kejadian lebih dari 90 % tercatat ada 5 (lima) yaitu: Coscinodiscus, Chaetoceros, Guinardia, Navicula, Pseudonitzshia. Namun genus yang pre dominan (> 10 %) adalah Coscinodiscus dengan kelimpahan sebesar 664,665,97 sel/m3( 99.47%) di stasiun 5, Coscinodiscus merupakan jenis pre dominan atau ada lima jenis diatom dengan frekuensi kejadian lebih dari 90%, atau     didapatkan hampir di seluruh perairan. Gejala ini sering terlihat di perairan temperate serta biasanya berlangsung dalam musim semi dan dikenal sebagai SDI (Spring Diatoms Increase. Di perairan sepanjang pantai tropis terutama di sekitar mulut sungai, melimpahnya diatom sebagian besar karena pengaruh daratan (land mass effect) sebagai akibat terbawanya nutrisi dari sawah, ladang, limbah industri dan  limbah rumah tangga melalui air sungai ke laut dan juga karena turbulensi (pengadukan) oleh gelombang pasang dan arus laut yang relatif dalam ke yang lebih dangkal (Russel-Hunter W.D. 1970.)
Teori yang berkaitan  dengan perbedaan alamiah dalam hal pertumbuhan dan perkembangan, Shumway  menjelaskan bahwa siklus kehidupan fitoplankton berlangsung jauh lebih cepat daripada zooplankton. Dari kelompok dinoflagellata, hanya marga Ceratium dengan kelimpahan tertinggi di stasiun 7 sebesar 3,246,09 sel/m3 dengan lokasi arah ke atas  Pulau Burung tapi masih dalam kondisi normal. Kelimpahan dinoflagellata tidak ditemukan pada  stasiun 3 dengan lokasi hampir ke darat dekat dengan P. Gadung dan stasiun 10 antara Pulau Kalong dan Pulau Burung, tetapi kandungan sel umumnya rendah (<10%), jadi belum  mengkhawatirkan. Dilihat dari jumlah kelimpahan plankton yang didapat, dengan demikian dapat dikatakan bahwa perairan ini cukup subur akan nutrisi, karena lokasi penelitian di huni oleh hutan mangrove, dikenal sebagai suatu daerah produsen zat organik yang subur (Doty, M.S., Oguri, 1956.).
2.3. Marga Predominan Fitoplankton Kelompok Diatom
2.3.1. Coscinodiscus. Her
Diskripsi pertama dilakukan oleh Throndsen (Shumway, S.E.1990). Bentuk sel datar seperti cakram dengan valva yang datar atau sedikit melengkung. Diameter sel sekitar 73 um. Gambar yang tampak pada sisi valva sangat kasar. Di bagian tengah tidak terlihat bangunan roses. Gambaran pada sisi valva berbentuk seperti lubang dengan ukuran yang sama, berjumlah 3-4 dalam 10 um. Pada tepi valva bangunan ini berukuran sedikit lebih kecil berjumlah 6-8 dalam 10 um. Di perairan Gilimanuk ditemukan di seluruh stasiun (St 1–10_). Jenis ini umum ditemukan di perairan Teluk Bayur, perairan Teluk Bungus, Selat Makassar, Perairan Ternate. Semula marga ini umum dilaporkan dari perairan beriklim sedang, dan tercatat dari perairan Atlantik Utara, Laut Utara, Laut Baltik, Kanal Inggris, laut Irlandia, perairan pantai Perancis, Mediterania, dan Pasifik .
2.3.2. Chaetoceros  Grunow
Diskripsi pertama dilakukan oleh Hallegraeff (Throndsen, J. 1978.). Sel-sel membentuk rantai yang kaku. Bentuk valva bersudut 4 atau 6, jarang berbentuk elips. Ukuran lebar sel bervariasi antara 18 – 60 µm. Setae muncul dari sudut-sudut bagian apikal sel dengan bagian dasar setae yang pendek dan kokoh. Setae ini menonjol keluar dengan arah agak diagonal. Setae dari ujung sel ujung bawah rantai berukuran lebih pendek, seringkali lebih tebal, mula-mula mengarah ke samping, kemudian sejajar dengan sumbu rantai. jenis ini umum dijumpai, baik di perairan Teluk Bayur maupun perairan Teluk menerangkan  bahwa marga hanya ini tersebar antara lain di Kanal Inggris, perairan pantai Belgia, dan perairan pantai Amerika Utara sisi Atlantik. Di perairan Gilimanuk  marga ini  ditemukan di stasiun 2,3,5,6,9, dan 10,
2.3.3. Ceratium (Ehrenberg) Dujardin
Pertama kali dinamakan Peridinium furca Ehrenberg, tetapi  kemudian dipindahkan ke marga Ceratium. Bentuk selm lurus agak pipih arah dorso-ventral dengan  satu tanduk di bagian apikal dan dua tanduk di bagian antapikal. Hipoteka mempunyai satu tanduk kanan yang pendek dan satu tanduk kiri yang dua kali lebih panjang. Kedua tanduk terletak paralel atau sedikit menonjol keluar. Ceratium  furca adalah jenis yang kosmopolitan dan kadang-kadang meyebabkan redtide di perairan Jepang(Hallegraeff, G.M. 1993). Di perairan  Gilimanuk jenis ini umum ditemukan dihampir seluruh stasiun  kecuali stasiun 3 dan 10.
2.4. Zooplankton
Secara keseluruhan zooplankton yang berhasil diidentifikasi pada penelitian ini berjumlah 33 ordo. Pada umumnya komposisi  zooplankton terdiri dari  Copepoda terutama Calanoida, Cyclopoida dan Nauplius copepoda dengan kepadatan tinggi yaitu lebih dari  50%. Dari kelompok Copepoda ini, Calanoida merupakan yang pre dominan (50%) dengan kelimpahan terbesar 23938 individu/m3 ( 67.73 %). Taksa zooplankton lainnya yaitu, Chaetognata, Polychaeta, Oikopleura, Gastropoda, Bivalva, telur ikan, larva ikan. Ketujuh taksa zooplankton ini umumnya mempunyai prosentase kepadatan yang tinggi (>10%),  kecuali  Polychaeta tidak ditemukan pada stasiun 9. Kelimpahan zooplankton  di perairan gilimanuk mengandung zooplankton  dua kali lebih banyak dibandingkan kepulauan Berau dan Selat Malaka. Taksa zooplankton predominan ( >10%) yang diperoleh dari pengamatan ini ternyata lebih variatif sebagai zooplankton predominan selama 20 tahun
Hal ini mempertegas bahwa kandungan zooplankton di perairan Gilimanuk lebih padat dibandingkan di bagian tenggara Selat Malaka. Perkembangan persentase dan kelimpahan Copepoda yang selalu mendominasi  di seluruh perairan. Copepoda yang selalu merupakan komponen utama zooplankton predominan, mengindikasikan bahwa perairan ini cukup potensial untuk mendukung kehidupan biota laut pelagis. Hal ini didukung oleh penelitian para pakar, yang menyatakan bahwa ikan-ikan pelagis seperti teri, kembung, lemuru, tembang dan bahkan cakalang berprefensi sebagai pemangsa Copepoda dan larva decapoda. Umumnya komunitas zooplankton didominasi oleh Copepoda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wiadnyana  bahwa kelompok Copepoda harus disadari bahwa di dalam  lingkungan yang kondisinya normal, bergerombolnya biota laut hampir selalu berkaitan erat dengan banyaknya mangsa pakan di suatu perairan. Copepoda sebagai unsur dominan yang ditemukan pada komunitas zooplankton  di perairan  Gilimanuk terutama Calanoida dan Cyclopoida merupakan jenis Copepoda neritik. Jenis Copepoda ini berukuran relatif lebih besar dan biasa hidup pada perairan tidak dipengaruhi daratan, seperti yang banyak ditemukan di Laut Jawa. Copepoda yang selalu merupakan komponen utama zooplankton predominan ini juga mengidentifikasikan bahwa perairan Gilimanuk ini cukup potensial untuk mendukung kehidupan biota laut pelagis. Hal ini didukung oleh  penelitian para pakar, yang menyatakan bahwa ikan-ikan pelagis seperti teri, kembung, lemuru, tembang dan bahkan cakalang berprefensi sebagai pemangsa Copepoda dan larva Decapoda Harus disadari bahwa di dalam lingkungan  yang kondisinya normal, bergerombolnya biota  laut hampir selalu  berkaitan erat dengan  banyaknya mangsa pangan di suatu perairan (Sutomo, A.B. & O.H. Arinardi 1978. Pen)





PEMBAHASAN

3.1. Faktor Penyebab Eutrofikasi
Eutrofikasi dapat dikarenakan beberapa hal di antaranya karena ulah manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan. Hampir 90 % disebabkan oleh aktivitas manusia di bidang pertanian. Para petani biasanya menggunakan pestisida atau insektisida untuk memberantas hama tanaman agar tanaman tidak rusak. Akan tetapi botol - botol bekas pestisida itu dibuang secara sembarangan baik di sekitar lahan pertanian atau daerah irigasi. Hal inilah yang mengakibatkan pestisida dapat berada di tempat lain yang jauh dari area pertanian karena mengikuti aliran air hingga sampai ke sungai - sungai atau danau di sekitarnya.(Finli, 2007)
Emisi nutrien dari pertanian merupakan penyebab utama eutrofikasi di berbagai belahan dunia. Rembesan phospor selain dari areal pertanian juga datang dari peternakan, dan pemukiman atau rumah tangga. Akumulasi phospor dalam tanah terjadi saat sejumlah besar kompos dan pakan ternak digunakan secara besar-besaran untuk mengatur prosduksi ternakbhewan (sharply et al, 1994).
Menurut Morse et. al. (1993) sumber fosfor penyebab eutrofikasi 10 % berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), 7 % dari industri, 11 % dari detergen, 17 % dari pupuk pertanian, 23 % dari limbah manusia, dan yang terbesar, 32 %, dari limbah peternakan. Paparan statistik di atas menunjukkan bagaimana besarnya jumlah populasi dan beragamnya aktivitas masyarakat modern menjadi penyumbang yang sangat besar bagi lepasnya fosfor ke lingkungan air. Limbah kotoran ikan dan sisa pakan ikan yang mengandung unsur hara fosfor dan nitrogen akan merangsang pertumbuhan fitoplankton atau alga dan meningkatkan produktivitas perairan. Sebaliknya, dalam keadaan berlebihan akan memicu timbulnya blooming algae yang justru merugikan kehidupan organisme yang ada dalam badan air, termasuk ikan yang dibudidayakan di perairan danau. Penumpukan bahan nutrien ini akan menjadi ancaman kehidupan ikan di badan danau pada saat musim pancaroba. Adanya peningkatan suhu udara, pemanasan sinar matahari, dan tiupan angin kencang akan menyebabkan terjadinya golakan air danau. Hal ini menyebabkan arus naik dari dasar danau yang mengangkat masa air yang mengendap. Masa air yang membawa senyawa beracun dari dasar danau hingga mengakibatkan kandungan oksigen di badan air berkurang. Rendahnya oksigen di air itulah yang menyebabkan kematian ikan secara mendadak. (Anonim, 2010)
3.2. Jenis Eutrofikasi
Dari analisa study kasus di atas eutrofikasi yang terjadi adalah jenis eutrofikasi Cultural Eutrophication Yang dimaksud denagan cultural eutrophication adalah eutrofikasi yang disebabkan karena terjadinya proses peningkatan unsur hara di perairan oleh aktivitas manusia.
Aktivitas manusia yang menyebabkan eutrofikasi banyak sekali macamnya. Menurut Morse et al (The Economic and Environment Impact of Phosporus Removal from Wastewater in the European Community, 1993) 10 persen berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), 7 persen dari industri, 11 persen dari detergen, 17 persen dari pupuk pertanian, 23 persen dari limbah manusia, dan yang terbesar, 32 persen, dari limbah peternakan. Paparan statistik di atas (meskipun tidak persis mewakili data di Tanah Air) menunjukkan bagaimana berbagai aktivitas masyarakat di era modern dan semakin besarnya jumlah populasi manusia menjadi penyumbang yang sangat besar bagi lepasnya fosfor ke lingkungan air. Dari data statistic di atas juga dapat diketahui bahwa 90 % penyebab eutrofikasi adalah berasal dari aktivitas manusia. Hal ini menunjukkan bahwa eutrofikasi cultural lebih banyak terjadi daripada eutrofikasi alami.
3.3. Dampak Eutrofikasi
Kematian massal ikan akibat arus balik, eutrofikasi dan blooming algae setiap tahun terjadi di perairan di Indonesia dengan kerugian yang besar. Di Danau Maninjau pada Januari 2009 saja kerugian telah mencapai Rp 150 miliar dan menyebabkan kredit macet Rp 3,6 miliar. Kerugian ini akibat kematian ikan sekitar 13.413 ton dari 6.286 petak keramba jaring apung (KJA) dan menyebabkan 3.143 tenaga.
Secara singkat dampak eutrofiaksi di perairan dapat dirangkum sebagai berikut:
1.     Rusaknya habitat untuk kehidupan berbagai spesies ikan dan invertebrata. Kerusakan habitat akan menyebabkan berkurangnya biodiversitas di habitat akuatikdan spesies lain dalam rantai makanan.
2.     Konsentrasi oksigen terlarut turun sehingga beberapa spesies ikan dan kerangtidak toleran untuk hidup.
3.     Rusaknya kualitas areal yang mempunyai nilai konservasi/ cagar alam margasatwa.
4.     Terjadinya “alga bloom” dan terproduksinya senyawa toksik yang akan meracuniikan dan kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi masyarakat dan merusak industri perikanan. Pada masa kini hubungan antara pengkayaan nutrien dengan adanya insiden keracunan kerang di perairan pantai/laut meningkat
5.     Produksi vegetasi meningkat sehingga penggunaan air untuk navigasi maupun rekreasi menjadi terganggu. Hal ini berdampak pada pariwisata dan industri pariwisata.
3.4. Penanggulangan Dan Pencegahan Eutrofikasi
Untuk mencegah dan mengeliminasi aliran nitrogen sangat sulit. Sejumlah artificial wetland dapat dibuat sepanjang aliran air dan sungai di areal pertanian untuk menangkap kandungan nitrogen dalam air yang akan mengalir ke laut. Selain itu upaya lain yang perlu dilakukan adalah meningkatkan sistem pengolahan limbah domestik. Pada saat ini, pengolahan limbah domestik di pesisir pantai dan kota besar harus melibatkan proses pengurangan nitrogen secara biologi, karena perlakuan secara kimiawi hanya mengurangi sejumlah kecil kandungan nitrogen dalam limbah cair. Pada hakekatnya mengaurangi konsentrasi nutrien pada sumbernya meruapak upaya yang sangat penting karena mengurangi input nutrien ke dalam lautan seperti yang kita harapkan sangat sulit untuk dicapai.
Seperti kita ketahui bahwa sumber P tanah terutama berasal dari pemupukan (pupuk kimia, organik, kompos, pupuk kandang) maka pengaturan sistem pertanian yang ramah lingkuanga harus segera dikembangkan. Untuk mengatur pengurangan dampak P terhadap lingkungan, setidaknya ada dua faktor yang harus dipertimbangkan, yaitu sumber Pdan transportasinya. Timbulnya dampak P terhadap lingkungan tentunya karena ada sumber P (tanah dengan konsentrasi P tinggi, penggunaan kompos, pupuk kandang dan pupuk kimia) dan ada transportasi atau perpindahan P ke lokasi yang rawan (rawan terhadap leaching, pengaliran, erosi). Masalah akan muncul jika ada interaksi dari kedua faktor tersebut. Sumber yang tinggi dengan kecilnya kemungkinan untuk perpindahan, mungkin tidak akan berpengaruh bagi lingkungan. Demikian juga sebaliknya jika kemungkinan terjadinya perpindahan tinggi namun sumbernya kecil maka juga tidak akan berpengaruh buruk terhadap lingkungan. Oleh karena itu pengaturan harus difokuskan pada area dimana kedua kondisi tersebut bertemu. Area tersebut dikenal sebagai “critical source area”. Penentuan titik titik rawan tersebut menjadi sangat penting dan harus segera dilakukan di kawasan Bopunjur sehingga eutrofikasi dapat dicegah. Langkah lain yang juga sangat penting untuk mencegah terjadinya kurasakan lingkungan perairan pada umumnya, khususnya eutrofikasi adalah kerusakan lingkungan perairan pada umumnya, khususnya eutrofikasi adalah dengan mengurangi konsentrasi pencemar dalam limbah cair industri, dan limbah domestik sampai ke tingkatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebelum limbah tersebut memasuki perairan umum. Untuk itu maka teknologi pengolahan limbah yang efisien, dan secara ekonomi dan ekologi menguntungkan sangat dibutuhkan
















PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Dari tinjauan pustaka dan penjelasan di bab sebelumnya, maka dapat disimpulkanbahwa:
·       Genera diatom Coscinodiscus, Chaetoceros, Guinardia, Navicula, Pseudonitzshia, banyak ditemukan di seluruh perairan Gilimanuk dengan frekuensi kejadian lebih dari 50 % , sedangkan genus yang predominan adalah Ceratium, dan Protoperidinium  dari kelompok dinoflagellata. Takson dari kelompok Copepoda, Polychaeta, Chaetognata, Bivalia, Gastropoda dan Oikopleura memiliki frekuensi kejadian tinggi tetapi yang memiliki kepadatan tinggi hanyalah dari Ordo Copepoda terutama Calanoida dengan kelimpahan lebih dari 50 %. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perairan Gilimanuk mempunyai kelimpahan  lebih padat dengan demikian dapat dikatakan bahwa perairan Gilimanuk cukup subur akan nutrisi.
·       fosfor dan nitrogen merupakan elemen kunci di dalam proses eutrofikasi, di antara nutrient utama yang terkandung dalam suatu perairan.
·       Eutrofikasi dapat menyebabkan Terjadinya “alga bloom” dan terproduksinya senyawa toksik yang akan meracuni ikan dan kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan merusak industri perikanan.
·       Perlakuan-perlakuan yang cukup signifikan untuk mengontrol eutrofikasi adalah dengan melakukan perombakan phospat pada buangan kotoran, pengontrolan phospat yang tersifusi dari pertanian, perombakan phospat dari deterjen, pengalihan tempat pembuangan kotoran.





DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2010. http://www.trinunnews.com. Cara Cegah Ikan Mati Massal. Diakses
             pada tanggal 20 Oktober 2011.
Den Hartog, C. 1970. The seagrass of the world. North-Holland Publ. Co, Amsmerdam,
           275p.
Finli, 2007. http://finli.blogspot.com/apakah-eutrofikasi-itu.html/. Diakses pada
           tanggal 20 Oktober 2011.
Hallegraeff, G.M. 1993. A review of harmful algal blooms and their apparent global
           Increase. Phycologia, 32 : 79-99.
Morse et al 1993 (The Economic and Environment Impact of Phosphorus Removal
            from Wastewater in the European Community), APHA, AWWA, WEF,
               (1995),
Praseno. D.P. dan Sugestiningsih, 2000.  Jenis – jenis Diatom dan Dinoflagellata Perairan
          Teluk Bayur dan Teluk Bungus, Sumatera Barat,  Laboratorium Plankton, Balitbang
          Lingkungan laut, P3O-LIPI.
Sharpley, A.N. 1994. Wheat tillage and water quality in the Southern Plains. Soil
             TillagebResearch.
Shumway, S.E., A review of the effects of algal blooms on shellfish  aquaculture. J. World.
           Aquacul. Soc., 1990 ,21: 65 – 103.
Sutomo, A.B. & O.H. Arinardi 1978. Penelitian plankton untuk menunjang penangkapan
            ikan. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat, Jakarta, Jakarta, 27
Throndsen, J. 1978. Preservation and store. Dalam: A. Sournia (ed) Phytoplankton Manual.
           Monogr. Oceanogr. UNESCO 6, hal. 69-74
Wolanski and Y. Mazda 1990. Longitudinal diffusion in mangrove fringed tidal creeks.
           Estuarine, Coastal and Shelf Science. 31 : 541-544.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar