Brawijaya University

Brawijaya University
Brawijaya University

Kamis, 03 Januari 2013

PLANKTONOLOGI


KASUS YANG TERJADI DI LINGKUNGAN PERAIRAN YANG DI SEBABKAN OLEH PLANKTON DAN DAMPAKNYA TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (Study kasus : Kelimpahan Plankton Di Ekosistem Perairan Teluk Gilimanuk,Taman Nasional,Bali Barat)


PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kawasan pesisir merupakan daerah pencampuran antara rezim darat dan laut, serta membentuk suatu keseimbangan yang dinamis dari masing-masing komponen. Interaksi antara hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang dengan lingkungannya di perairan pesisir mampu menciptakan kondisi lingkungan yang sangat cocok bagi berlangsungnya proses biologi dari berbagai macam jenis organisme akuatik. Kawasan pesisir yang memiliki ketiga ekosistem tersebut biasanya memiliki produktivitas yang sangat tinggi. Di samping itu, secara ekologis ketiga ekosistem tersebut  mampu berperan sebagai penyeimbang stabilitas kawasan pesisir, baik akibat pengaruh darat maupun dari laut (Den Hartog, C. 1970)
Perairan di sekitar hutan mangrove memiliki peranan dan memegang kunci dalam perputaran nutrien, sehingga eksistensinya dapat berperan dalam menopang dan memberikan tempat kehidupan biota laut, apabila lingkungannya relatif stabil, kondusif dan tidak terlalu berfluktuatif. Begitu halnya juga dengan padang lamun, para pakar mengemukakan bahwa fungsi utama lamun adalah dalam pendauran zat hara yang sangat diperlukan bagi kehidupan biota laut Pesatnya kemajuan pembangunan dan tingginya kebutuhan hidup manusia, berdampak negatif  terhadap kualitas dan kuantitas ekosistem tersebut. Kondisi tersebut saat ini sudah terjadi pada sebagian besar kawasan pesisir di Indonesia, antara lain di sepanjang pantai utara Jawa, pesisir Sulawesi, pesisir Teluk Saleh (Sumbawa), pantai barat Pulau Lombok dan di beberapa pesisir di kawasan Propinsi Kalimantan Timur (Praseno.2000).
Terkait dengan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas luasan kawasan pesisir di beberapa daerah di Indonesia tersebut diatas, kawasan pesisir Gilimanuk merupakan salah satu kawasan pesisir yang kondisinya masih relatif baik. Kawasan pesisir Teluk Gilimanuk tersebut sudah lama dicanangkan sebagai Taman Laut Nasional Bali Barat, Propinsi Bali, namun informasi, baik yang menyangkut keberadaan ketiga ekosistem tersebut maupun biota yang hidup berasosiasi didalamnya masih sangat terbatas atau bahkan belum ada.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Metode Penelitian
Pengamatan plankton dilakukan di perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional, Bali Barat. Perairan ini relatif dangkal dengan kedalaman air antara 5 – 10 m. Contoh plankton diambil dari 10 stasiun dengan menggunakan jaring plankton dengan spefikasi tertentu sesuai dengan jenisnya: ntuk fitoplankton digunakan jaring plankton dengan ukuran mata jaring 80 µm, diameter mulut jaring 0,31 m dan panjang jaring 100 cm; untuk zooplankton digunakan jaring plankton dengan ukuran mata jaring 300 µm, diameter mulut jaring 0,45 m dan panjang jaring 180 cm.
Pada setiap mulut jaring plankton dilengkapi dengan  “flowmeter” untuk mengukur volume air yang masuk kedalam jaring. Pengukuran volume air tersaring dihitung dengan rumus : V = R. a. p
V :  volume air tersaring ( m3)
R :  Jumlah rotasi baling-baling  flowmeter
a  :  luas mulut jaring
p  :   panjang kolom air ( m) yang ditempuh untuk satu rotasi
Sampling dilakukan secara horizontal pada permukaan perairan yang ditarik selama 2 – 3 menit dengan kecepatan konstan. Sampel dikoleksi dalam botol sampel yang diberi formalin dengan konsentrasi 4 % dan kemudian dicacah dan diidentifikasi di laboratorium dengan menggunakan mikroskop high power.
Pencacahan fitoplankton dilakukan dengan menggunakan “Sedgwik-Rafter Counting Cell” atas fraksi sampel dan hasilnya dinyatakan dalam sel/m3. sedangkan untuk sampel zooplankton pencacahan dan identifikasi dilakukan dengan menggunakan cawan Bogorov dan hasilnya dinyatakan dalam individu/m3 (Wickstead, J.H. 1965.).
2.2. Fitoplankton
Dari hasil penelitian pada bulan Maret 2006 tercatat komposisi marga fitoplankton di perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional, Bali Barat berjumlah 13 marga, yang terdiri dari 10 marga diatom  dan 3 marga dinoflagellata, komposisinya didominasi oleh marga diatom. Marga diatom yang mempunyai frekuensi kejadian lebih dari 90 % tercatat ada 5 (lima) yaitu: Coscinodiscus, Chaetoceros, Guinardia, Navicula, Pseudonitzshia. Namun genus yang pre dominan (> 10 %) adalah Coscinodiscus dengan kelimpahan sebesar 664,665,97 sel/m3( 99.47%) di stasiun 5, Coscinodiscus merupakan jenis pre dominan atau ada lima jenis diatom dengan frekuensi kejadian lebih dari 90%, atau     didapatkan hampir di seluruh perairan. Gejala ini sering terlihat di perairan temperate serta biasanya berlangsung dalam musim semi dan dikenal sebagai SDI (Spring Diatoms Increase. Di perairan sepanjang pantai tropis terutama di sekitar mulut sungai, melimpahnya diatom sebagian besar karena pengaruh daratan (land mass effect) sebagai akibat terbawanya nutrisi dari sawah, ladang, limbah industri dan  limbah rumah tangga melalui air sungai ke laut dan juga karena turbulensi (pengadukan) oleh gelombang pasang dan arus laut yang relatif dalam ke yang lebih dangkal (Russel-Hunter W.D. 1970.)
Teori yang berkaitan  dengan perbedaan alamiah dalam hal pertumbuhan dan perkembangan, Shumway  menjelaskan bahwa siklus kehidupan fitoplankton berlangsung jauh lebih cepat daripada zooplankton. Dari kelompok dinoflagellata, hanya marga Ceratium dengan kelimpahan tertinggi di stasiun 7 sebesar 3,246,09 sel/m3 dengan lokasi arah ke atas  Pulau Burung tapi masih dalam kondisi normal. Kelimpahan dinoflagellata tidak ditemukan pada  stasiun 3 dengan lokasi hampir ke darat dekat dengan P. Gadung dan stasiun 10 antara Pulau Kalong dan Pulau Burung, tetapi kandungan sel umumnya rendah (<10%), jadi belum  mengkhawatirkan. Dilihat dari jumlah kelimpahan plankton yang didapat, dengan demikian dapat dikatakan bahwa perairan ini cukup subur akan nutrisi, karena lokasi penelitian di huni oleh hutan mangrove, dikenal sebagai suatu daerah produsen zat organik yang subur (Doty, M.S., Oguri, 1956.).
2.3. Marga Predominan Fitoplankton Kelompok Diatom
2.3.1. Coscinodiscus. Her
Diskripsi pertama dilakukan oleh Throndsen (Shumway, S.E.1990). Bentuk sel datar seperti cakram dengan valva yang datar atau sedikit melengkung. Diameter sel sekitar 73 um. Gambar yang tampak pada sisi valva sangat kasar. Di bagian tengah tidak terlihat bangunan roses. Gambaran pada sisi valva berbentuk seperti lubang dengan ukuran yang sama, berjumlah 3-4 dalam 10 um. Pada tepi valva bangunan ini berukuran sedikit lebih kecil berjumlah 6-8 dalam 10 um. Di perairan Gilimanuk ditemukan di seluruh stasiun (St 1–10_). Jenis ini umum ditemukan di perairan Teluk Bayur, perairan Teluk Bungus, Selat Makassar, Perairan Ternate. Semula marga ini umum dilaporkan dari perairan beriklim sedang, dan tercatat dari perairan Atlantik Utara, Laut Utara, Laut Baltik, Kanal Inggris, laut Irlandia, perairan pantai Perancis, Mediterania, dan Pasifik .
2.3.2. Chaetoceros  Grunow
Diskripsi pertama dilakukan oleh Hallegraeff (Throndsen, J. 1978.). Sel-sel membentuk rantai yang kaku. Bentuk valva bersudut 4 atau 6, jarang berbentuk elips. Ukuran lebar sel bervariasi antara 18 – 60 µm. Setae muncul dari sudut-sudut bagian apikal sel dengan bagian dasar setae yang pendek dan kokoh. Setae ini menonjol keluar dengan arah agak diagonal. Setae dari ujung sel ujung bawah rantai berukuran lebih pendek, seringkali lebih tebal, mula-mula mengarah ke samping, kemudian sejajar dengan sumbu rantai. jenis ini umum dijumpai, baik di perairan Teluk Bayur maupun perairan Teluk menerangkan  bahwa marga hanya ini tersebar antara lain di Kanal Inggris, perairan pantai Belgia, dan perairan pantai Amerika Utara sisi Atlantik. Di perairan Gilimanuk  marga ini  ditemukan di stasiun 2,3,5,6,9, dan 10,
2.3.3. Ceratium (Ehrenberg) Dujardin
Pertama kali dinamakan Peridinium furca Ehrenberg, tetapi  kemudian dipindahkan ke marga Ceratium. Bentuk selm lurus agak pipih arah dorso-ventral dengan  satu tanduk di bagian apikal dan dua tanduk di bagian antapikal. Hipoteka mempunyai satu tanduk kanan yang pendek dan satu tanduk kiri yang dua kali lebih panjang. Kedua tanduk terletak paralel atau sedikit menonjol keluar. Ceratium  furca adalah jenis yang kosmopolitan dan kadang-kadang meyebabkan redtide di perairan Jepang(Hallegraeff, G.M. 1993). Di perairan  Gilimanuk jenis ini umum ditemukan dihampir seluruh stasiun  kecuali stasiun 3 dan 10.
2.4. Zooplankton
Secara keseluruhan zooplankton yang berhasil diidentifikasi pada penelitian ini berjumlah 33 ordo. Pada umumnya komposisi  zooplankton terdiri dari  Copepoda terutama Calanoida, Cyclopoida dan Nauplius copepoda dengan kepadatan tinggi yaitu lebih dari  50%. Dari kelompok Copepoda ini, Calanoida merupakan yang pre dominan (50%) dengan kelimpahan terbesar 23938 individu/m3 ( 67.73 %). Taksa zooplankton lainnya yaitu, Chaetognata, Polychaeta, Oikopleura, Gastropoda, Bivalva, telur ikan, larva ikan. Ketujuh taksa zooplankton ini umumnya mempunyai prosentase kepadatan yang tinggi (>10%),  kecuali  Polychaeta tidak ditemukan pada stasiun 9. Kelimpahan zooplankton  di perairan gilimanuk mengandung zooplankton  dua kali lebih banyak dibandingkan kepulauan Berau dan Selat Malaka. Taksa zooplankton predominan ( >10%) yang diperoleh dari pengamatan ini ternyata lebih variatif sebagai zooplankton predominan selama 20 tahun
Hal ini mempertegas bahwa kandungan zooplankton di perairan Gilimanuk lebih padat dibandingkan di bagian tenggara Selat Malaka. Perkembangan persentase dan kelimpahan Copepoda yang selalu mendominasi  di seluruh perairan. Copepoda yang selalu merupakan komponen utama zooplankton predominan, mengindikasikan bahwa perairan ini cukup potensial untuk mendukung kehidupan biota laut pelagis. Hal ini didukung oleh penelitian para pakar, yang menyatakan bahwa ikan-ikan pelagis seperti teri, kembung, lemuru, tembang dan bahkan cakalang berprefensi sebagai pemangsa Copepoda dan larva decapoda. Umumnya komunitas zooplankton didominasi oleh Copepoda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wiadnyana  bahwa kelompok Copepoda harus disadari bahwa di dalam  lingkungan yang kondisinya normal, bergerombolnya biota laut hampir selalu berkaitan erat dengan banyaknya mangsa pakan di suatu perairan. Copepoda sebagai unsur dominan yang ditemukan pada komunitas zooplankton  di perairan  Gilimanuk terutama Calanoida dan Cyclopoida merupakan jenis Copepoda neritik. Jenis Copepoda ini berukuran relatif lebih besar dan biasa hidup pada perairan tidak dipengaruhi daratan, seperti yang banyak ditemukan di Laut Jawa. Copepoda yang selalu merupakan komponen utama zooplankton predominan ini juga mengidentifikasikan bahwa perairan Gilimanuk ini cukup potensial untuk mendukung kehidupan biota laut pelagis. Hal ini didukung oleh  penelitian para pakar, yang menyatakan bahwa ikan-ikan pelagis seperti teri, kembung, lemuru, tembang dan bahkan cakalang berprefensi sebagai pemangsa Copepoda dan larva Decapoda Harus disadari bahwa di dalam lingkungan  yang kondisinya normal, bergerombolnya biota  laut hampir selalu  berkaitan erat dengan  banyaknya mangsa pangan di suatu perairan (Sutomo, A.B. & O.H. Arinardi 1978. Pen)





PEMBAHASAN

3.1. Faktor Penyebab Eutrofikasi
Eutrofikasi dapat dikarenakan beberapa hal di antaranya karena ulah manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan. Hampir 90 % disebabkan oleh aktivitas manusia di bidang pertanian. Para petani biasanya menggunakan pestisida atau insektisida untuk memberantas hama tanaman agar tanaman tidak rusak. Akan tetapi botol - botol bekas pestisida itu dibuang secara sembarangan baik di sekitar lahan pertanian atau daerah irigasi. Hal inilah yang mengakibatkan pestisida dapat berada di tempat lain yang jauh dari area pertanian karena mengikuti aliran air hingga sampai ke sungai - sungai atau danau di sekitarnya.(Finli, 2007)
Emisi nutrien dari pertanian merupakan penyebab utama eutrofikasi di berbagai belahan dunia. Rembesan phospor selain dari areal pertanian juga datang dari peternakan, dan pemukiman atau rumah tangga. Akumulasi phospor dalam tanah terjadi saat sejumlah besar kompos dan pakan ternak digunakan secara besar-besaran untuk mengatur prosduksi ternakbhewan (sharply et al, 1994).
Menurut Morse et. al. (1993) sumber fosfor penyebab eutrofikasi 10 % berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), 7 % dari industri, 11 % dari detergen, 17 % dari pupuk pertanian, 23 % dari limbah manusia, dan yang terbesar, 32 %, dari limbah peternakan. Paparan statistik di atas menunjukkan bagaimana besarnya jumlah populasi dan beragamnya aktivitas masyarakat modern menjadi penyumbang yang sangat besar bagi lepasnya fosfor ke lingkungan air. Limbah kotoran ikan dan sisa pakan ikan yang mengandung unsur hara fosfor dan nitrogen akan merangsang pertumbuhan fitoplankton atau alga dan meningkatkan produktivitas perairan. Sebaliknya, dalam keadaan berlebihan akan memicu timbulnya blooming algae yang justru merugikan kehidupan organisme yang ada dalam badan air, termasuk ikan yang dibudidayakan di perairan danau. Penumpukan bahan nutrien ini akan menjadi ancaman kehidupan ikan di badan danau pada saat musim pancaroba. Adanya peningkatan suhu udara, pemanasan sinar matahari, dan tiupan angin kencang akan menyebabkan terjadinya golakan air danau. Hal ini menyebabkan arus naik dari dasar danau yang mengangkat masa air yang mengendap. Masa air yang membawa senyawa beracun dari dasar danau hingga mengakibatkan kandungan oksigen di badan air berkurang. Rendahnya oksigen di air itulah yang menyebabkan kematian ikan secara mendadak. (Anonim, 2010)
3.2. Jenis Eutrofikasi
Dari analisa study kasus di atas eutrofikasi yang terjadi adalah jenis eutrofikasi Cultural Eutrophication Yang dimaksud denagan cultural eutrophication adalah eutrofikasi yang disebabkan karena terjadinya proses peningkatan unsur hara di perairan oleh aktivitas manusia.
Aktivitas manusia yang menyebabkan eutrofikasi banyak sekali macamnya. Menurut Morse et al (The Economic and Environment Impact of Phosporus Removal from Wastewater in the European Community, 1993) 10 persen berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), 7 persen dari industri, 11 persen dari detergen, 17 persen dari pupuk pertanian, 23 persen dari limbah manusia, dan yang terbesar, 32 persen, dari limbah peternakan. Paparan statistik di atas (meskipun tidak persis mewakili data di Tanah Air) menunjukkan bagaimana berbagai aktivitas masyarakat di era modern dan semakin besarnya jumlah populasi manusia menjadi penyumbang yang sangat besar bagi lepasnya fosfor ke lingkungan air. Dari data statistic di atas juga dapat diketahui bahwa 90 % penyebab eutrofikasi adalah berasal dari aktivitas manusia. Hal ini menunjukkan bahwa eutrofikasi cultural lebih banyak terjadi daripada eutrofikasi alami.
3.3. Dampak Eutrofikasi
Kematian massal ikan akibat arus balik, eutrofikasi dan blooming algae setiap tahun terjadi di perairan di Indonesia dengan kerugian yang besar. Di Danau Maninjau pada Januari 2009 saja kerugian telah mencapai Rp 150 miliar dan menyebabkan kredit macet Rp 3,6 miliar. Kerugian ini akibat kematian ikan sekitar 13.413 ton dari 6.286 petak keramba jaring apung (KJA) dan menyebabkan 3.143 tenaga.
Secara singkat dampak eutrofiaksi di perairan dapat dirangkum sebagai berikut:
1.     Rusaknya habitat untuk kehidupan berbagai spesies ikan dan invertebrata. Kerusakan habitat akan menyebabkan berkurangnya biodiversitas di habitat akuatikdan spesies lain dalam rantai makanan.
2.     Konsentrasi oksigen terlarut turun sehingga beberapa spesies ikan dan kerangtidak toleran untuk hidup.
3.     Rusaknya kualitas areal yang mempunyai nilai konservasi/ cagar alam margasatwa.
4.     Terjadinya “alga bloom” dan terproduksinya senyawa toksik yang akan meracuniikan dan kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi masyarakat dan merusak industri perikanan. Pada masa kini hubungan antara pengkayaan nutrien dengan adanya insiden keracunan kerang di perairan pantai/laut meningkat
5.     Produksi vegetasi meningkat sehingga penggunaan air untuk navigasi maupun rekreasi menjadi terganggu. Hal ini berdampak pada pariwisata dan industri pariwisata.
3.4. Penanggulangan Dan Pencegahan Eutrofikasi
Untuk mencegah dan mengeliminasi aliran nitrogen sangat sulit. Sejumlah artificial wetland dapat dibuat sepanjang aliran air dan sungai di areal pertanian untuk menangkap kandungan nitrogen dalam air yang akan mengalir ke laut. Selain itu upaya lain yang perlu dilakukan adalah meningkatkan sistem pengolahan limbah domestik. Pada saat ini, pengolahan limbah domestik di pesisir pantai dan kota besar harus melibatkan proses pengurangan nitrogen secara biologi, karena perlakuan secara kimiawi hanya mengurangi sejumlah kecil kandungan nitrogen dalam limbah cair. Pada hakekatnya mengaurangi konsentrasi nutrien pada sumbernya meruapak upaya yang sangat penting karena mengurangi input nutrien ke dalam lautan seperti yang kita harapkan sangat sulit untuk dicapai.
Seperti kita ketahui bahwa sumber P tanah terutama berasal dari pemupukan (pupuk kimia, organik, kompos, pupuk kandang) maka pengaturan sistem pertanian yang ramah lingkuanga harus segera dikembangkan. Untuk mengatur pengurangan dampak P terhadap lingkungan, setidaknya ada dua faktor yang harus dipertimbangkan, yaitu sumber Pdan transportasinya. Timbulnya dampak P terhadap lingkungan tentunya karena ada sumber P (tanah dengan konsentrasi P tinggi, penggunaan kompos, pupuk kandang dan pupuk kimia) dan ada transportasi atau perpindahan P ke lokasi yang rawan (rawan terhadap leaching, pengaliran, erosi). Masalah akan muncul jika ada interaksi dari kedua faktor tersebut. Sumber yang tinggi dengan kecilnya kemungkinan untuk perpindahan, mungkin tidak akan berpengaruh bagi lingkungan. Demikian juga sebaliknya jika kemungkinan terjadinya perpindahan tinggi namun sumbernya kecil maka juga tidak akan berpengaruh buruk terhadap lingkungan. Oleh karena itu pengaturan harus difokuskan pada area dimana kedua kondisi tersebut bertemu. Area tersebut dikenal sebagai “critical source area”. Penentuan titik titik rawan tersebut menjadi sangat penting dan harus segera dilakukan di kawasan Bopunjur sehingga eutrofikasi dapat dicegah. Langkah lain yang juga sangat penting untuk mencegah terjadinya kurasakan lingkungan perairan pada umumnya, khususnya eutrofikasi adalah kerusakan lingkungan perairan pada umumnya, khususnya eutrofikasi adalah dengan mengurangi konsentrasi pencemar dalam limbah cair industri, dan limbah domestik sampai ke tingkatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebelum limbah tersebut memasuki perairan umum. Untuk itu maka teknologi pengolahan limbah yang efisien, dan secara ekonomi dan ekologi menguntungkan sangat dibutuhkan
















PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Dari tinjauan pustaka dan penjelasan di bab sebelumnya, maka dapat disimpulkanbahwa:
·       Genera diatom Coscinodiscus, Chaetoceros, Guinardia, Navicula, Pseudonitzshia, banyak ditemukan di seluruh perairan Gilimanuk dengan frekuensi kejadian lebih dari 50 % , sedangkan genus yang predominan adalah Ceratium, dan Protoperidinium  dari kelompok dinoflagellata. Takson dari kelompok Copepoda, Polychaeta, Chaetognata, Bivalia, Gastropoda dan Oikopleura memiliki frekuensi kejadian tinggi tetapi yang memiliki kepadatan tinggi hanyalah dari Ordo Copepoda terutama Calanoida dengan kelimpahan lebih dari 50 %. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perairan Gilimanuk mempunyai kelimpahan  lebih padat dengan demikian dapat dikatakan bahwa perairan Gilimanuk cukup subur akan nutrisi.
·       fosfor dan nitrogen merupakan elemen kunci di dalam proses eutrofikasi, di antara nutrient utama yang terkandung dalam suatu perairan.
·       Eutrofikasi dapat menyebabkan Terjadinya “alga bloom” dan terproduksinya senyawa toksik yang akan meracuni ikan dan kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan merusak industri perikanan.
·       Perlakuan-perlakuan yang cukup signifikan untuk mengontrol eutrofikasi adalah dengan melakukan perombakan phospat pada buangan kotoran, pengontrolan phospat yang tersifusi dari pertanian, perombakan phospat dari deterjen, pengalihan tempat pembuangan kotoran.





DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2010. http://www.trinunnews.com. Cara Cegah Ikan Mati Massal. Diakses
             pada tanggal 20 Oktober 2011.
Den Hartog, C. 1970. The seagrass of the world. North-Holland Publ. Co, Amsmerdam,
           275p.
Finli, 2007. http://finli.blogspot.com/apakah-eutrofikasi-itu.html/. Diakses pada
           tanggal 20 Oktober 2011.
Hallegraeff, G.M. 1993. A review of harmful algal blooms and their apparent global
           Increase. Phycologia, 32 : 79-99.
Morse et al 1993 (The Economic and Environment Impact of Phosphorus Removal
            from Wastewater in the European Community), APHA, AWWA, WEF,
               (1995),
Praseno. D.P. dan Sugestiningsih, 2000.  Jenis – jenis Diatom dan Dinoflagellata Perairan
          Teluk Bayur dan Teluk Bungus, Sumatera Barat,  Laboratorium Plankton, Balitbang
          Lingkungan laut, P3O-LIPI.
Sharpley, A.N. 1994. Wheat tillage and water quality in the Southern Plains. Soil
             TillagebResearch.
Shumway, S.E., A review of the effects of algal blooms on shellfish  aquaculture. J. World.
           Aquacul. Soc., 1990 ,21: 65 – 103.
Sutomo, A.B. & O.H. Arinardi 1978. Penelitian plankton untuk menunjang penangkapan
            ikan. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat, Jakarta, Jakarta, 27
Throndsen, J. 1978. Preservation and store. Dalam: A. Sournia (ed) Phytoplankton Manual.
           Monogr. Oceanogr. UNESCO 6, hal. 69-74
Wolanski and Y. Mazda 1990. Longitudinal diffusion in mangrove fringed tidal creeks.
           Estuarine, Coastal and Shelf Science. 31 : 541-544.





Selasa, 01 Januari 2013

PENGARUH KERUSAKAN TERUMBU KARANG TERHADAP EKOSISTEM PERAIRAN INDONESIA {METODE PENELITIAN SOSIAL)






USULAN PRAKTEK KERJA LAPANG
PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN
JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERIKANAN



Oleh:


EDI SUTRISNO
NIM : 105080413111003









FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
KATA PENGANTAR

Asalamu”alaikum Wr.Wb.
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang trlah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga proposal penelitian tentang “Pengaruh Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Ekosisitem Perairan Indonesia” ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya.
            Perkenankan pada kesempatan ini lami sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang  telah membantu  baik moril maupun materil mulai penyusunan “Pengaruh Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Ekosisitem Perairan Indonesia”ini sampai selesai.
Kami sangat menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna maka kami sangat berharap kritik dan saranya. Akhirnya penulis berharap semoga tugas  ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Wassalamu”alaikum Wr.Wb.



Malang,11 Desember 2011


Penulis



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan  negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang menjapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km2 Wilayah lautan yang luas tersebut menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, salah satunya adalah ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan  ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-Pasifik. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia (Walters, 1994 dalam Suharsono, 1998).
Terumbu karang terdiri dari dua kata, yaitu terumbu dan karang. Terumbu adalah endapan zat kapur hasil metabolisme dari ribuan hewan karang. Jadi, dalam seonggok batuan terumbu itu, terdapat ribuan hewan karang yang hidup di dalam celah kecil yang disebut polip. Hewan karang ini bentuknya renik dan melakukan kegiatan pemangsaan terhadap berbagai mikro organisme lainnya yang melayang pada malam hari. Terumbu karang bertumbuh dan berkembang sangat lambat. Sebagian besar karang hanya hidup di iklim tropis. Hewan-hewan yang karang ini bersimbiosis dengan alga Zooxanthellae. Alga ini memberikan nuansa warna terhadap karang (Madduppa, 2008).
Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang ini pada umumnya hidup lebih dari 300 jenis karang, yang terdiri dari sekitar 200 jenis ikan dan berpuluhpuluh jenis moluska, crustacean, sponge, alga, lamun dan biota lainnya (Dahuri, 2000)..
Dengan mempertimbangkan bagian rantai ekosistem yang hilang dapat ditentukan langkah dan teknologi rehabilitasi terumbu karang ( Wagiyo dan Radiarta, 1997 ). Untuk memperbaiki terumbu karang alami sebagai tempat tinggal organisme laut, salah satu teknik yang telah banyak di kembangkan di dunia adalah teknik terumbu buatan ( artificial reef ). Di Indonesia upaya pelestarian dan pemulihan terumbu karang melalui pembuatan terumbu karang buatan ( artificial reef ) dari berbagai bahan seperti rangka beton, ban bekas, dan becak bekas. Namun, bahan-bahan tersebut sudah tidak lagi di jadikan bahan pembuatan terumbu buatan karena dalam jangka panjangnya akan mencemari lingkungan perairan. Salah satu alternatif bahan untuk terumbu buatan adalah dari batu kapur atau  limestone  yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3) yang tinggi dan mempunyai sifat masif.. Trumbu buatan sebagai suatu struktur di dasar laut yang di bangun untuk menyediakan lingkungan, habitat, sumber makanan, tempat pemijahan dan asuhan, serta perlindungan pantai sebagaimana terumbu karang alami.
1.2.Rumusan Masalah
1.     Apa fungsi dan jenis jenis terumbu karang di perairan Indonesia?
2.     Apa pengaruh  kerusakan terumbu karang terhadap ekosistem di perairan Indonesia?
3.     Bagaimana cara memperbaiki dan memulihkan terumbu karang yang sudah rusak?
1.3.Tujuan
1.     Mengetahui fungsi dan jenis jenis terumbu karang di perairan Indonesia
2.     Mengetahui pengaruh  kerusakan terumbu karang terhadap ekosistem di perairan Indonesia
3.     Mengetahui cara memperbaiki dan memulihkan terumbu karang yang sudah rusak
1.4.Manfaat
1)     Bagi Mahasiswa
1)     Sebagai salah satu pengetahuan tentang kerusakan terumbu karang terhadap ekosistem di perairan Indonesia
2)     Dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kerusakan  Terumbu Karang baik akibat faktor alami maupun yang diakibatkan oleh manusia dengan melakukan penelitian – penelitian baru untuk memperbaiki dan pemulihan Terumbu karang.
3)     Menarik minat mahasiswa untuk lebih peduli terhadap lingkungan perairan, khususnya terhadap kelestarian terumbu karang.
2)     Bagi Masyarakat Umum
1)     Dapat memberi pengetahuan tentang pentingnya terumbu karang dalam ekosistem perairan.
2)     Dapat memberi informasi kepada masyarakat untuk tetap menjaga dan melaestarikan Terumbu karang sebagai tempat hidup biota laut, pemecah ombak dan melindungi pantai dari sapuan ombak.
3)     Memberi pengetahuan kepada masyarakat umum untuk menggunakan Terumbu Karang secara bijaksana.
3)     Bagi Pemerintah
1)     Dapat memberikan salah satu solusi untuk mengatasi kerusakan terumbu karang di Indonesia agar bisa mengembalikan ekosistem ke kaeadaan seharusnya agar terjadi suatu keseimbangan.
2)     Mengingatkan pemerintah untuk lebih menegakkan hukum yang berlaku bagi para perusak terumbu karang agar kerusakan tidak bertambah parah yang diakibatkan oleh tangan – tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.










BAB 11
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terumbu Karang Di Indonesia
2.1.1. Terumbu Karang Di Indonesia Dan Penyebaranya
Binatang karang adalah  pembentuk utama ekosistem terumbu karang. Binatang karang yang berukuran sangat kecil, disebut polip, yang dalam jumlah ribuan membentuk koloni yang dikenal sebagai karang (karang batu atau karang lunak). Dalam peristilahan ‘terumbu karang’, “karang” yang dimaksud adalah  koral, sekelompok  hewan dari ordo  Scleractinia  yang menghasilkan  kapur  sebagai pembentuk utama terumbu, sedangkan Terumbu adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang hidup dan karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di terumbu dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu karang adalah terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang. Di Indonesia semua terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan koral. Di dalam terumbu karang, koral adalah insinyur ekosistemnya. Sebagai hewan yang menghasilkan kapur untuk kerangka tubuhnya,karang merupakan komponen yang terpenting dari ekosistem tersebut. Jadi Terumbu karang (coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari 22oC), memiliki kadar CaCO3 (Kalsium Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang keras.  (Guilcher, 1988).
Terumbu karang (Coral Reef) adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-Pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan secara melintang terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh faktor suhu dan sirkulasi permukaan (surface circulation). Penyebaran terumbu karang secara membujur sangat dipengaruhi oleh konektivitas antar daratan yang menjadi stepping stones melintasi samudera. Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah Indo-Pasifik diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang dan tingginya keanekaragaman hayati biota terumbu karang di wilayah tersebut (Anonim, 2008).
Terumbu karang di Indonesia ditemui sangat berlimpah di wilayah kepulauan bagian timur (meliputi Bali, Flores, Banda dan Sulawesi). Namun juga terdapat di perairan Sumatera dan Jawa. Indonesia menopang tipe terumbu karang yang bervariasi (terumbu karang tepi, penghalang dan atol). Namun tipe terumbu karang yang dominan di Indonesia ialah terumbu karang tepi. Terumbu karang tepi ini dapat dijumpai sepanjang pesisir Sulawesi, Maluku, Barat dan Utara Papua, Madura, Bali, dan sejumlah pulau-pulau kecil di luar pesisir Barat dan Timur Sumatera. Tipe Patch Reefs (terumbu karang yang mengumpul) paling baik terbentuk di wilayah Kepulauan Seribu, sedangkan terumbu karang penghalang paling baik terbentuk di sepanjang tepi Paparan Sunda, bagian Timur Kalimantan dan sekitar Kepulauan Togean (Sulawesi Tengah). Terdapat pula beberapa atol, contohnya Taka Bone Rate di Laut Flores merupakan atol terbesar ketiga di dunia. Kondisi terumbu Karang Indonesia mengalami penurunan drastis hingga 90% dalam lima puluh tahun terakhir akibat penangkapan dalam lima puluh tahun terakhir akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Total terumbu karang Indonesia yang mencapai 85.200 km2, terluas ke dua di dunia setelah Great Barrier Reef— itu tercatat 40 persen diantaranya berada dalam kondisi rusak, rusak sedang 24 persen, dan sangat baik hanya enam persen (Iwan, 2009).
Daerah Asia-Mediterania yaitu laut di dalam dan di sekitar kepulauan Indonesia dari bagian utara Australia sampai bagian selatan China memilki daerah terumbu karang yang luas, yaitu sekitar 182.000 km2 yang merupakn 30% dari total daerah terumbu karang di dunia. Khusus mengenai terumbu karang, Indonesia di kenal sebagai pusat distribusi terumbu karang untuk seluruh Indo-Pasifik. Indonesia memilki areal terumbu karang seluas 60.000 km2 lebih. Sejauh ini telah tercatat kurang lebih 354 jenis karang yang termasuk ke dalam 75 marga (Wells (1986) dalam Kunarso 2008).

2.1.2. Jenis Jenis Terumbu Karang Di Indonesia
2.1.2.1. Tipe- Tipe Terumbu Karang Berdasarkan Jenisnya
Ada dua jenis terumbu karang yaitu
1.     Terumbu karang keras (seperti brain coral dan elkhorn coral) merupakan karang batu kapur yang keras yang membentuk terumbu karang. Karang batu ini menjadi pembentuk utama ekosistem terumbu karang. Walaupun terlihat sangat kuat dan kokoh, karang sebenarnya sangat rapuh, mudah hancur dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.
2.     Terumbu karang lunak (seperti sea fingers dan sea whips) tidak membentuk karang. Terdapat beberapa tipe terumbu karang yaitu terumbu karang yang tumbuh di sepanjang pantai di continental shelf yang biasa disebut sebagai fringing reef, terumbu karang yang tumbuh sejajar pantai tapi agak lebih jauh ke luar (biasanya dipisahkan oleh sebuah laguna) yang biasa disebut sebagai barrier reef dan terumbu karang yang menyerupai cincin di sekitar pulau vulkanik yang disebut coral atoll
2.1.2.2.Tipe- Tipe Terumbu Karang Berdasarkan Bentuknya
Terumbu karang umunya dikelompokkan ke dalam empat bentuk, yaitu :
1.     Terumbu karang tepi (fringing reefs)
Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara vertikal. Contoh: Bunaken (Sulawesi), Pulau Panaitan (Banten), Nusa Dua (Bali).
1.     Terumbu karang penghalang (barrier reefs)
Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0.52 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk lagoon (kolom air) atau celah perairan yang lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus. Contoh: Batuan Tengah (Bintan, Kepulauan Riau), Spermonde (Sulawesi Selatan), Kepulauan Banggai (Sulawesi Tengah).
2.     Terumbu karang cincin (atolls)
Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari pulaupulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan.
3.     Terumbu karang datar/Gosong terumbu (patch reefs)
Gosong terumbu (patch reefs), terkadang disebut juga sebagai pulau datar (flat island). Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan dan, dalam kurun waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar. Umumnya pulau ini akan berkembang secara horizontal atau vertikal dengan kedalaman relatif dangkal. Contoh: Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Ujung Batu.

2.1.2.3.Beberapa Spesies Terumbu Karang di Indonesia dan Klasifikasinya
1.     Acropora cervicornis
Kingdom               : Animalia
Phylum                 : Cnidaria
Class                     : Anthozoa
Ordo                      : Scleractinia
Family                  : Acroporidae
Genus                    : Acropora
Spesies                   : Acropora cervicornis

2.     Acropora acuminata
Kingdom                : Animalia
Phylum                  : Cnidaria
Class                                  : Anthozoa
Ordo                       : Scleractinia
Family                   : Acroporidae
Genus                     : Acropora
Spesies                   : Acropora acuminata
3.     Acropora micropthalma
Kingdom                : Animalia
Phylum                  : Cnidaria
Class                      : Anthozoa
Ordo                       : Scleractinia
Family                   : Acroporidae
Genus                     : Acropora
Spesies                  : Acropora micropthalma
4.     Acropora millepora
Kingdom                : Animalia
Phylum                 : Cnidaria
Class                     : Anthozoa
Ordo                       : Scleractinia
Family                  : Acroporidae
Genus                     : Acropora
Spesies                   : Acropora millepora
5.     Acropora palmate
Kingdom                : Animalia
Phylum                  : Cnidaria
Class                      : Anthozoa
Ordo                       : Scleractinia
Family                   : Acroporidae
Genus                     : Acropora
Spesies                   : Acropora palmate

2.1.3.     Fungsi Terumbu Karang Di Indonesia
Di samping peranannya yang penting, ekosistem terumbu karang  Indonesia dipercaya sedang mengalami tekanan berat dari kegiatan penangkapan ikan dengan mempergunakan racun dan bahan peledak. Struktur yang begitu kokoh dari terumbu berfungsi sebagai pelindung  sempadan pantai, dan ekosistem pesisir lain (padang lamun dan hutan mangrove) dari terjangan arus kuat dan gelombang besar. Struktur terumbu yang mulai terbentuk sejak ratusan juta tahun yang lalu juga merupakan rekaman alami dari variasi iklim dan lingkungan di masa silam, sehingga penting bagi penelitian paleoekologi (Anonim, 2009).
Menurut , (Wibisono, 2005) adapunfungsiterumbukarangantara lain sebagaiberikut:
1.     Sebagaitempatberteduh (Sheltor) dantempatmencarimakanbagisebagianbiotaLaut.
2.     Sebagaipenahanerosipantaikarenadeburanombak
3.     sebagaicadangansumberdayaalam (Natural Stock) untukberbagaijenis biota  yang  bernilaiekonomipenting.
4.     Untukdaerahpemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery), danpembesaran (rearing) beberapajenisikanUntukbahanmakanan, yaituberupaikan, udang-udangan (lobster), octpus, Kerang-kerangan (oyster), rumputlaut, dansebagainya     
Menurut  (Anonimymous, 2008)  terddapat fungsi terumbu karang lainnya sebagai berikut:
1.     Pelindung ekosistem pantai        
2.     Objek wisata        
3.     Daerah Penelitian
Penelitian akan menghasilkan informasi penting dan akurat sebagai dasar pengelolaan yang lebih baik.
4.     Mempunyai nilai spiritual          
Bagi banyak masyarakat, laut adalah daerah spiritual yang sangat penting, Laut yang terjaga karena terumbu karang yang baik tentunya mendukung kekayaan spiritual in.
2.2. Pengaruh Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Ekosistem Di Perairan
Indonesia
2.2.1. Kondisi Terumbu Karang Di Indonesia
Namun sayangnya laporan Reef at Risk (2002) menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan status terumbu karang yang paling terancam. Selama 50 tahun terakhir, proporsi penurunan kondisi terumbu karang Indonesia telah meningkat dari 10% menjadi 50%. Lebih lanjut, hasil survey P2O LIPI (2006) menyebutkan bahwa hanya 5,23% terumbu karang di Indonesia yang berada di dalam kondisi yang sangat baik.Ancaman utama yang tercatat adalah: pembangunan daerah pesisir, polusi laut, sedimentasi dan pencemaran dari darat, overfishing (penangkapan ikan berlebih), destruktif fishing (penangkapan ikan dengan cara merusak), dan pemutihan karang ( coral bleaching ).
2.2.2. Penyebab Kerusakan Terumbu Karang Di Indonesia
Beberapa faktor rusaknya terumbu karang di Indonesia disebabkan karena aktivitas manusia, di antaranya adalah membuang sampah ke laut dan pantai yang dapat mencemari air laut, penggunaan pupuk dan pestisida buatan pada lahan pertanian turut merusak terumbu karang di lautan, boros menggunakan air (semakin banyak air yang digunakan semakin banyak pula limbah air yang dihasilkan dan akhirnya mengalir ke laut), membuang jangkar pada pesisir pantai, penambangan pasir atau bebatuan di laut dan pembangunan pemukiman di pesisir, limbah dan polusi dari aktivitas masyarakat di pesisir secara tidak langsung berimbas pada kehidupan terumbu karang, pengambilan karang untuk bahan bangunan dan hiasan akuarium, menangkap ikan di laut dengan menggunakan bom dan racun sianida, dan selain karena kegiatan manusia, kerusakan terumbu karang juga berasal dari sesama mahkluk hidup di laut seperti siput drupella salah satu predator karang (Juliana, 2011).
Selain kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan antropogenik, juga ada yang disebabkan oleh pengaruh alamlainnya, misalnya akibat dari perubahan cuaca global El Nino pada tahun 1987-1988 sehingga terjadi peningkatan suhu air laut rata-rata yang berakibat kematian karang melalui tahap pemutihan (bleaching). Laporan dari BPPT diatas juga menyebutkan bahwa di Kep. Seribu 90-95% terumbu karang yang berada pada kedalaman 25 meter mengalami kematian (Wibisono, 2005).
Sumber kedua terbesar yang menyebabkan kematian terumbu, pada tahun-tahun terakhir adalah ledakan populasi bintang laut Acanthaster planci. Sejak1957, ketika mula-mula ditemukannya ledakan populasi, A. Planci menyebabkan  bencana kematian terumbu pada banyak tempat di Pasifik Barat. Kemampuan bintang laut dalam merusak daerah yang sangat luas di terumbu sangat dahsyat. Di Guam, Chester (1969) memperkirakan bahwa 90 persen terumbu karang sepanjang 38 km pada garis pantai telah dirusak dalam waktu dua setengah tahun, dan di Great Barrier Reef, Endean (1973) mencatat bagian terbesar dari karang dalam suatu terumbu seluas 8 km2 telah rusak dalam 12 bulan (Nybakken, 1988) ).
2.2.3. Pengaruh Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Ekosistem Di
Perairan Indonesia
Rusaknya terumbu karang mengakibatkan sumber rantai makanan juga hilang. Akibatnya, selain nelayan kian sulit menangkap ikan, udang atau biota laut lainnya, pertumbuhan dari biota tersebut juga lambat. Kondisi ini diperarah dengan perburuan ikan yang semakin intensif seiring dengan meningkatnya konsumsi manusia. Itulah sebabnya selain stok perikanan tangkap dunia termasuk Indonesia terus merosot juga ukurannya kian mengecil dari waktu ke waktu. Upaya yang dilakukan untuk melestarikan terumbu karang Cara-cara penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan racun harus segera dihentikan karena hanya dalam sekejap akan meluluhlantahkan ekosistem terumbu karang. Untuk mengembalikannya lagi ke tingkat semula merupakan satu hal yang cukup sulit. Menurut penelitian dibutuhkan waktu setahun untuk menumbuhkan terumbu karang sepanjang 1 cm
2.2. . Memperbaiki Dan Memulihkan Terumbu Karang Yang sudah Rusak
Konservasi sumberdaya hayati laut merupakan salah satu implementasi pengelolaan ekosistem sumberdaya laut dari keruskan akibat aktivitas manusia. Kawasan konservasi laut mempu nyai peranan penting dalam program konservasi sumberdaya alam hayati wilayah laut. Walaupun kawasan ini cenderung lebih baru ditetapkan dibandingkan dengan kawasan konservasi di daerah daratan, namun dibutuhkan keahlian tertentu untuk mengidentifikasi, mendirikan dan mengelolanya.  Pemanfaatan sumberdaya alam di lingkungan konservasi laut biasanya diatur melalui zona-zona yang telah di tetapkan kegiatan-kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti penambangan minyak dan gas bumi, penangkapan ikan dan biota laut lain dengan alat yang merusak lingkungan, serta perusakan lingkungannya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik (Supriharyono, 2007).
Berdasarkan (Sjamsoeddin, 1997) kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam upaya tetap melestarikan terumbu karang sebagai kekayaan nasional antara lain:
1.      Mengupayakan peraturan perundang-undangan bagi perlindungan terumbu karang, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum dalam rangka penegakkan hukum bagi pelestarian dan perlindungan terumbu karang.
2.      Mengupayakan usaha-usaha peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat bagi pelestarian terumbu karang.
3.      Mengupayakan pelatihan, penelitian, dan pendidikan bagi upaya-upaya konservasi terumbu karang.
4.      Mengupayakan pengelolaan kawasan konservasi ekosistem terumbu karang agar dapat diupayakan pemanfaatannya secara optimal, dan berdaya guna bagi masyarakat.
Para pemerhati lingkungan juga melontarkan berbagai gagasan, ide dan saran kepada pengambil  kebijakan untuk menjaga kondisi terumbu karang agar dapat berfungsi dengan baik. Salah satunya ajakan untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan Friends of the Reef (FoR) di beberapa lokasi di Asia Pasifik. Misi utama FoR adalah mengasilkan stategi untuk meningkatkan daya tahan dan daya lenting terumbu karang agar mampu menghadapi ancaman pemanasan global. Baru-baru ini, Presiden Republik Indonesia mengadakan pertemuan di Sydney dan telah mengumumkan sekaligus mengajak negara-negara di dunia, khususnya di kawasan Asia Pasifik untuk menjaga dan melindungi kawasan segitiga karang dunia yang dikenal dengan nama Coral Triangle. Indonesia bersama lima negara lainnya yaitu Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan Kepulauan Salomon mengumumkan sebuah inisiatif perlindungan terumbu karang yang disebut Coral Triangle Initiative (CTI). Inisiatif ini mendapat kesan positif dari negara- negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia. Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut, terutama terumbu karang melalui CTI sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan upaya mengurangi kemiskinan. Menjaga kelestarian terumbu karang bukan hanya menjadi tanggung jawab nelayan saja melainkan seluruh umat manusia di bumi ini. Dengan menanamkan pendidikan kepada masyarakat luas (terutama yang tinggal di sepanjang garis pantai) mengenai fenomena ini melalui beberapa media seperti leaflet, booklet dan berbagai media komunikasi cetak lainnya perlu disebarkan ke masyarakat, termasuk melalui media eletronik, radio dan televisi. Kemudian adanya penegakan hukum dan partisipasi pesisir dalam menjaga keutuhan wilayah pesisir yang salah satunya dengan mengawasi dan menjaga aktivitas penambangan liar di daerah pesisir yang harus segera dihentikan (DKP Kab. Oki, 2011).

BAB 111
PEMBAHASAN

3.1.. Metode Penelitian



















BAB 1V
PENUTUP

4.1.. Kesimpulan
4.2.  Saran


















DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Perkembangan n
               Terumbu Karang (Coral Reef).http://www.ubb.ac.id
Anonimus.Upaya Penanggulangan Kerusakan Terumbu Karang (http://sangsurya
               wahana blogspot.com
, diakses, 24 April 2012)

Dahuri, Rokhim, 1999, Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang,
               Lokakarya Pengelolaan dan IPTEK Terumbu Karang Indonesia, Jakarta

DKP Kab. Oki. 2011. Lestarikan Terumbu Karang Indonesia.
http://www.dkp.kaboki.go.id[7 Desember 2012]
Guilcher Andre. 1988. Coral reef Geomorphology. John Willey &
               Sons.Chhichester
Iwan. 2009. Oseanografi. http://iwangeodrsgurugeografismamuhammadiyah1
               tasikmalaya.yolasite.com [7 Desember 2012].
Kunarso. 2008. Terumbu Karang dalam Masalah dan Terancam Bahaya. Staf
               Pengajar Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Semarang.
Maduppa, H. 2008. Terumbu Karang Hewan atau Tumbuhan. http://netsains.com
              [7 Desember 2012)
Nybakken, J. W, 1988. Biologi Laut. PT. Gramedia. Jakarta
Sjamsoeddin, S.B.S. 1997. Tinjaun Terhadap Kebijakan dan Strategi Nasional
               Konservasi Ekosistem Terumbu Karang
.
http://www.isjd.pdii.lipi.go.i
               [7 Desember 2012].
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah
Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogjakarta
Suharsono, 1998. Jenis-jenis karang yang umum dijumpai di perairan Indonesia.
               Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan
               Pengembagan Oseanologi. Proyek penelitian dan Pengembangan daerah
               Pantai: 116 hlm.
Wibisono, M. S, 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT Gramedia Widiasarana
              Indonesia. Jakarta