PLANKTONOLOGI
KASUS YANG TERJADI DI LINGKUNGAN
PERAIRAN YANG DI SEBABKAN OLEH PLANKTON DAN DAMPAKNYA TERHADAP KONDISI SOSIAL
EKONOMI MASYARAKAT (Study kasus : Kelimpahan Plankton Di Ekosistem Perairan
Teluk Gilimanuk,Taman Nasional,Bali Barat)
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan
pesisir merupakan daerah pencampuran antara rezim darat dan laut, serta
membentuk suatu keseimbangan yang dinamis dari masing-masing komponen.
Interaksi antara hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang dengan lingkungannya
di perairan pesisir mampu menciptakan kondisi lingkungan yang sangat cocok bagi
berlangsungnya proses biologi dari berbagai macam jenis organisme akuatik.
Kawasan pesisir yang memiliki ketiga ekosistem tersebut biasanya memiliki
produktivitas yang sangat tinggi. Di samping itu, secara ekologis ketiga
ekosistem tersebut mampu berperan
sebagai penyeimbang stabilitas kawasan pesisir, baik akibat pengaruh darat
maupun dari laut (Den Hartog, C. 1970)
Perairan
di sekitar hutan mangrove memiliki peranan dan memegang kunci dalam perputaran
nutrien, sehingga eksistensinya dapat berperan dalam menopang dan memberikan
tempat kehidupan biota laut, apabila lingkungannya relatif stabil, kondusif dan
tidak terlalu berfluktuatif. Begitu halnya juga dengan padang lamun, para pakar
mengemukakan bahwa fungsi utama lamun adalah dalam pendauran zat hara yang
sangat diperlukan bagi kehidupan biota laut Pesatnya kemajuan pembangunan dan
tingginya kebutuhan hidup manusia, berdampak negatif terhadap kualitas dan kuantitas ekosistem
tersebut. Kondisi tersebut saat ini sudah terjadi pada sebagian besar kawasan
pesisir di Indonesia, antara lain di sepanjang pantai utara Jawa, pesisir
Sulawesi, pesisir Teluk Saleh (Sumbawa), pantai barat Pulau Lombok dan di
beberapa pesisir di kawasan Propinsi Kalimantan Timur (Praseno.2000).
Terkait
dengan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas luasan kawasan pesisir di
beberapa daerah di Indonesia tersebut diatas, kawasan pesisir Gilimanuk
merupakan salah satu kawasan pesisir yang kondisinya masih relatif baik.
Kawasan pesisir Teluk Gilimanuk tersebut sudah lama dicanangkan sebagai Taman
Laut Nasional Bali Barat, Propinsi Bali, namun informasi, baik yang menyangkut
keberadaan ketiga ekosistem tersebut maupun biota yang hidup berasosiasi
didalamnya masih sangat terbatas atau bahkan belum ada.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Metode Penelitian
Pengamatan
plankton dilakukan di perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional, Bali Barat.
Perairan ini relatif dangkal dengan kedalaman air antara 5 – 10 m. Contoh
plankton diambil dari 10 stasiun dengan menggunakan jaring plankton dengan
spefikasi tertentu sesuai dengan jenisnya: ntuk fitoplankton digunakan jaring
plankton dengan ukuran mata jaring 80 µm, diameter mulut jaring 0,31 m dan
panjang jaring 100 cm; untuk zooplankton digunakan jaring plankton dengan
ukuran mata jaring 300 µm, diameter mulut jaring 0,45 m dan panjang jaring 180
cm.
Pada
setiap mulut jaring plankton dilengkapi dengan
“flowmeter” untuk mengukur volume air yang masuk kedalam jaring. Pengukuran
volume air tersaring dihitung dengan rumus : V = R. a. p
V
: volume air tersaring ( m3)
R
: Jumlah rotasi baling-baling flowmeter
a : luas
mulut jaring
p :
panjang kolom air ( m) yang ditempuh untuk satu rotasi
Sampling
dilakukan secara horizontal pada permukaan perairan yang ditarik selama 2 – 3
menit dengan kecepatan konstan. Sampel dikoleksi dalam botol sampel yang diberi
formalin dengan konsentrasi 4 % dan kemudian dicacah dan diidentifikasi di
laboratorium dengan menggunakan mikroskop high power.
Pencacahan
fitoplankton dilakukan dengan menggunakan “Sedgwik-Rafter Counting Cell” atas
fraksi sampel dan hasilnya dinyatakan dalam sel/m3. sedangkan untuk sampel
zooplankton pencacahan dan identifikasi dilakukan dengan menggunakan cawan
Bogorov dan hasilnya dinyatakan dalam individu/m3 (Wickstead, J.H. 1965.).
2.2. Fitoplankton
Dari
hasil penelitian pada bulan Maret 2006 tercatat komposisi marga fitoplankton di
perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional, Bali Barat berjumlah 13 marga, yang
terdiri dari 10 marga diatom dan 3 marga
dinoflagellata, komposisinya didominasi oleh marga diatom. Marga diatom yang
mempunyai frekuensi kejadian lebih dari 90 % tercatat ada 5 (lima) yaitu:
Coscinodiscus, Chaetoceros, Guinardia, Navicula, Pseudonitzshia. Namun genus
yang pre dominan (> 10 %) adalah Coscinodiscus dengan kelimpahan sebesar 664,665,97
sel/m3( 99.47%) di stasiun 5, Coscinodiscus merupakan jenis pre dominan atau
ada lima jenis diatom dengan frekuensi kejadian lebih dari 90%, atau didapatkan hampir di seluruh perairan.
Gejala ini sering terlihat di perairan temperate serta biasanya berlangsung
dalam musim semi dan dikenal sebagai SDI (Spring Diatoms Increase. Di perairan
sepanjang pantai tropis terutama di sekitar mulut sungai, melimpahnya diatom
sebagian besar karena pengaruh daratan (land mass effect) sebagai akibat
terbawanya nutrisi dari sawah, ladang, limbah industri dan limbah rumah tangga melalui air sungai ke
laut dan juga karena turbulensi (pengadukan) oleh gelombang pasang dan arus
laut yang relatif dalam ke yang lebih dangkal (Russel-Hunter W.D. 1970.)
Teori
yang berkaitan dengan perbedaan alamiah
dalam hal pertumbuhan dan perkembangan, Shumway
menjelaskan bahwa siklus kehidupan fitoplankton berlangsung jauh lebih
cepat daripada zooplankton. Dari kelompok dinoflagellata, hanya marga Ceratium
dengan kelimpahan tertinggi di stasiun 7 sebesar 3,246,09 sel/m3 dengan lokasi
arah ke atas Pulau Burung tapi masih
dalam kondisi normal. Kelimpahan dinoflagellata tidak ditemukan pada stasiun 3 dengan lokasi hampir ke darat dekat
dengan P. Gadung dan stasiun 10 antara Pulau Kalong dan Pulau Burung, tetapi
kandungan sel umumnya rendah (<10%), jadi belum mengkhawatirkan. Dilihat dari jumlah
kelimpahan plankton yang didapat, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
perairan ini cukup subur akan nutrisi, karena lokasi penelitian di huni oleh
hutan mangrove, dikenal sebagai suatu daerah produsen zat organik yang subur
(Doty, M.S., Oguri, 1956.).
2.3. Marga Predominan Fitoplankton
Kelompok Diatom
2.3.1.
Coscinodiscus. Her
Diskripsi
pertama dilakukan oleh Throndsen (Shumway, S.E.1990). Bentuk sel datar seperti
cakram dengan valva yang datar atau sedikit melengkung. Diameter sel sekitar 73
um. Gambar yang tampak pada sisi valva sangat kasar. Di bagian tengah tidak
terlihat bangunan roses. Gambaran pada sisi valva berbentuk seperti lubang dengan
ukuran yang sama, berjumlah 3-4 dalam 10 um. Pada tepi valva bangunan ini
berukuran sedikit lebih kecil berjumlah 6-8 dalam 10 um. Di perairan Gilimanuk
ditemukan di seluruh stasiun (St 1–10_). Jenis ini umum ditemukan di perairan
Teluk Bayur, perairan Teluk Bungus, Selat Makassar, Perairan Ternate. Semula
marga ini umum dilaporkan dari perairan beriklim sedang, dan tercatat dari
perairan Atlantik Utara, Laut Utara, Laut Baltik, Kanal Inggris, laut Irlandia,
perairan pantai Perancis, Mediterania, dan Pasifik .
2.3.2.
Chaetoceros Grunow
Diskripsi
pertama dilakukan oleh Hallegraeff (Throndsen, J. 1978.). Sel-sel membentuk
rantai yang kaku. Bentuk valva bersudut 4 atau 6, jarang berbentuk elips.
Ukuran lebar sel bervariasi antara 18 – 60 µm. Setae muncul dari sudut-sudut
bagian apikal sel dengan bagian dasar setae yang pendek dan kokoh. Setae ini
menonjol keluar dengan arah agak diagonal. Setae dari ujung sel ujung bawah
rantai berukuran lebih pendek, seringkali lebih tebal, mula-mula mengarah ke
samping, kemudian sejajar dengan sumbu rantai. jenis ini umum dijumpai, baik di
perairan Teluk Bayur maupun perairan Teluk menerangkan bahwa marga hanya ini tersebar antara lain di
Kanal Inggris, perairan pantai Belgia, dan perairan pantai Amerika Utara sisi
Atlantik. Di perairan Gilimanuk marga
ini ditemukan di stasiun 2,3,5,6,9, dan
10,
2.3.3.
Ceratium (Ehrenberg) Dujardin
Pertama
kali dinamakan Peridinium furca Ehrenberg, tetapi kemudian dipindahkan ke marga Ceratium.
Bentuk selm lurus agak pipih arah dorso-ventral dengan satu tanduk di bagian apikal dan dua tanduk
di bagian antapikal. Hipoteka mempunyai satu tanduk kanan yang pendek dan satu
tanduk kiri yang dua kali lebih panjang. Kedua tanduk terletak paralel atau
sedikit menonjol keluar. Ceratium furca
adalah jenis yang kosmopolitan dan kadang-kadang meyebabkan redtide di perairan
Jepang(Hallegraeff, G.M. 1993). Di perairan
Gilimanuk jenis ini umum ditemukan dihampir seluruh stasiun kecuali stasiun 3 dan 10.
2.4. Zooplankton
Secara
keseluruhan zooplankton yang berhasil diidentifikasi pada penelitian ini
berjumlah 33 ordo. Pada umumnya komposisi
zooplankton terdiri dari Copepoda
terutama Calanoida, Cyclopoida dan Nauplius copepoda dengan kepadatan tinggi
yaitu lebih dari 50%. Dari kelompok
Copepoda ini, Calanoida merupakan yang pre dominan (50%) dengan kelimpahan
terbesar 23938 individu/m3 ( 67.73 %). Taksa zooplankton lainnya yaitu,
Chaetognata, Polychaeta, Oikopleura, Gastropoda, Bivalva, telur ikan, larva
ikan. Ketujuh taksa zooplankton ini umumnya mempunyai prosentase kepadatan yang
tinggi (>10%), kecuali Polychaeta tidak ditemukan pada stasiun 9.
Kelimpahan zooplankton di perairan
gilimanuk mengandung zooplankton dua
kali lebih banyak dibandingkan kepulauan Berau dan Selat Malaka. Taksa zooplankton
predominan ( >10%) yang diperoleh dari pengamatan ini ternyata lebih
variatif sebagai zooplankton predominan selama 20 tahun
Hal
ini mempertegas bahwa kandungan zooplankton di perairan Gilimanuk lebih padat
dibandingkan di bagian tenggara Selat Malaka. Perkembangan persentase dan
kelimpahan Copepoda yang selalu mendominasi
di seluruh perairan. Copepoda yang selalu merupakan komponen utama
zooplankton predominan, mengindikasikan bahwa perairan ini cukup potensial
untuk mendukung kehidupan biota laut pelagis. Hal ini didukung oleh penelitian
para pakar, yang menyatakan bahwa ikan-ikan pelagis seperti teri, kembung,
lemuru, tembang dan bahkan cakalang berprefensi sebagai pemangsa Copepoda dan
larva decapoda. Umumnya komunitas zooplankton didominasi oleh Copepoda. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Wiadnyana bahwa
kelompok Copepoda harus disadari bahwa di dalam
lingkungan yang kondisinya normal, bergerombolnya biota laut hampir
selalu berkaitan erat dengan banyaknya mangsa pakan di suatu perairan. Copepoda
sebagai unsur dominan yang ditemukan pada komunitas zooplankton di perairan
Gilimanuk terutama Calanoida dan Cyclopoida merupakan jenis Copepoda
neritik. Jenis Copepoda ini berukuran relatif lebih besar dan biasa hidup pada
perairan tidak dipengaruhi daratan, seperti yang banyak ditemukan di Laut Jawa.
Copepoda yang selalu merupakan komponen utama zooplankton predominan ini juga
mengidentifikasikan bahwa perairan Gilimanuk ini cukup potensial untuk
mendukung kehidupan biota laut pelagis. Hal ini didukung oleh penelitian para pakar, yang menyatakan bahwa
ikan-ikan pelagis seperti teri, kembung, lemuru, tembang dan bahkan cakalang
berprefensi sebagai pemangsa Copepoda dan larva Decapoda Harus disadari bahwa
di dalam lingkungan yang kondisinya
normal, bergerombolnya biota laut hampir
selalu berkaitan erat dengan banyaknya mangsa pangan di suatu perairan (Sutomo,
A.B. & O.H. Arinardi 1978. Pen)
PEMBAHASAN
3.1. Faktor Penyebab Eutrofikasi
Eutrofikasi
dapat dikarenakan beberapa hal di antaranya karena ulah manusia yang tidak
ramah terhadap lingkungan. Hampir 90 % disebabkan oleh aktivitas manusia di
bidang pertanian. Para petani biasanya menggunakan pestisida atau insektisida
untuk memberantas hama tanaman agar tanaman tidak rusak. Akan tetapi botol -
botol bekas pestisida itu dibuang secara sembarangan baik di sekitar lahan
pertanian atau daerah irigasi. Hal inilah yang mengakibatkan pestisida dapat
berada di tempat lain yang jauh dari area pertanian karena mengikuti aliran air
hingga sampai ke sungai - sungai atau danau di sekitarnya.(Finli, 2007)
Emisi
nutrien dari pertanian merupakan penyebab utama eutrofikasi di berbagai belahan
dunia. Rembesan phospor selain dari areal pertanian juga datang dari
peternakan, dan pemukiman atau rumah tangga. Akumulasi phospor dalam tanah
terjadi saat sejumlah besar kompos dan pakan ternak digunakan secara
besar-besaran untuk mengatur prosduksi ternakbhewan (sharply et al, 1994).
Menurut
Morse et. al. (1993) sumber fosfor penyebab eutrofikasi 10 % berasal dari
proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), 7 % dari
industri, 11 % dari detergen, 17 % dari pupuk pertanian, 23 % dari limbah
manusia, dan yang terbesar, 32 %, dari limbah peternakan. Paparan statistik di
atas menunjukkan bagaimana besarnya jumlah populasi dan beragamnya aktivitas
masyarakat modern menjadi penyumbang yang sangat besar bagi lepasnya fosfor ke
lingkungan air. Limbah kotoran ikan dan sisa pakan ikan yang mengandung unsur
hara fosfor dan nitrogen akan merangsang pertumbuhan fitoplankton atau alga dan
meningkatkan produktivitas perairan. Sebaliknya, dalam keadaan berlebihan akan
memicu timbulnya blooming algae yang justru merugikan kehidupan organisme yang
ada dalam badan air, termasuk ikan yang dibudidayakan di perairan danau.
Penumpukan bahan nutrien ini akan menjadi ancaman kehidupan ikan di badan danau
pada saat musim pancaroba. Adanya peningkatan suhu udara, pemanasan sinar
matahari, dan tiupan angin kencang akan menyebabkan terjadinya golakan air
danau. Hal ini menyebabkan arus naik dari dasar danau yang mengangkat masa air
yang mengendap. Masa air yang membawa senyawa beracun dari dasar danau hingga
mengakibatkan kandungan oksigen di badan air berkurang. Rendahnya oksigen di
air itulah yang menyebabkan kematian ikan secara mendadak. (Anonim, 2010)
3.2. Jenis Eutrofikasi
Dari analisa study kasus di atas eutrofikasi yang terjadi
adalah jenis eutrofikasi Cultural Eutrophication Yang
dimaksud denagan cultural eutrophication adalah eutrofikasi yang disebabkan
karena terjadinya proses peningkatan unsur hara di perairan oleh aktivitas
manusia.
Aktivitas manusia yang menyebabkan eutrofikasi banyak sekali
macamnya. Menurut Morse et al (The Economic and Environment Impact of Phosporus
Removal from Wastewater in the European Community, 1993) 10 persen berasal dari
proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), 7 persen dari
industri, 11 persen dari detergen, 17 persen dari pupuk pertanian, 23 persen
dari limbah manusia, dan yang terbesar, 32 persen, dari limbah peternakan.
Paparan statistik di atas (meskipun tidak persis mewakili data di Tanah Air)
menunjukkan bagaimana berbagai aktivitas masyarakat di era modern dan semakin
besarnya jumlah populasi manusia menjadi penyumbang yang sangat besar bagi
lepasnya fosfor ke lingkungan air. Dari data statistic di atas juga dapat
diketahui bahwa 90 % penyebab eutrofikasi adalah berasal dari aktivitas
manusia. Hal ini menunjukkan bahwa eutrofikasi cultural lebih banyak terjadi
daripada eutrofikasi alami.
3.3. Dampak Eutrofikasi
Kematian massal
ikan akibat arus balik, eutrofikasi dan blooming algae setiap tahun terjadi di
perairan di Indonesia dengan kerugian yang besar. Di Danau Maninjau pada Januari
2009 saja kerugian telah mencapai Rp 150 miliar dan menyebabkan kredit macet Rp
3,6 miliar. Kerugian ini akibat kematian ikan sekitar 13.413 ton dari 6.286
petak keramba jaring apung (KJA) dan menyebabkan 3.143 tenaga.
Secara
singkat dampak eutrofiaksi di perairan dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Rusaknya
habitat untuk kehidupan berbagai spesies ikan dan invertebrata. Kerusakan
habitat akan menyebabkan berkurangnya biodiversitas di habitat akuatikdan
spesies lain dalam rantai makanan.
2. Konsentrasi
oksigen terlarut turun sehingga beberapa spesies ikan dan kerangtidak toleran
untuk hidup.
3. Rusaknya
kualitas areal yang mempunyai nilai konservasi/ cagar alam margasatwa.
4. Terjadinya
“alga bloom” dan terproduksinya senyawa toksik yang akan meracuniikan dan kerang,
sehingga tidak aman untuk dikonsumsi masyarakat dan merusak industri perikanan.
Pada masa kini hubungan antara pengkayaan nutrien dengan adanya insiden
keracunan kerang di perairan pantai/laut meningkat
5. Produksi
vegetasi meningkat sehingga penggunaan air untuk navigasi maupun rekreasi
menjadi terganggu. Hal ini berdampak pada pariwisata dan industri pariwisata.
3.4.
Penanggulangan Dan Pencegahan
Eutrofikasi
Untuk
mencegah dan mengeliminasi aliran nitrogen sangat sulit. Sejumlah artificial wetland
dapat dibuat sepanjang aliran air dan sungai di areal pertanian untuk menangkap
kandungan nitrogen dalam air yang akan mengalir ke laut. Selain itu upaya lain
yang perlu dilakukan adalah meningkatkan sistem pengolahan limbah domestik.
Pada saat ini, pengolahan limbah domestik di pesisir pantai dan kota besar
harus melibatkan proses pengurangan nitrogen secara biologi, karena perlakuan
secara kimiawi hanya mengurangi sejumlah kecil kandungan nitrogen dalam limbah
cair. Pada hakekatnya mengaurangi konsentrasi nutrien pada sumbernya meruapak
upaya yang sangat penting karena mengurangi input nutrien ke dalam lautan
seperti yang kita harapkan sangat sulit untuk dicapai.
Seperti
kita ketahui bahwa sumber P tanah terutama berasal dari pemupukan (pupuk kimia,
organik, kompos, pupuk kandang) maka pengaturan sistem pertanian yang ramah
lingkuanga harus segera dikembangkan. Untuk mengatur pengurangan dampak P
terhadap lingkungan, setidaknya ada dua faktor yang harus dipertimbangkan,
yaitu sumber Pdan transportasinya. Timbulnya dampak P terhadap lingkungan
tentunya karena ada sumber P (tanah dengan konsentrasi P tinggi, penggunaan
kompos, pupuk kandang dan pupuk kimia) dan ada transportasi atau perpindahan P
ke lokasi yang rawan (rawan terhadap leaching, pengaliran, erosi). Masalah akan
muncul jika ada interaksi dari kedua faktor tersebut. Sumber yang tinggi dengan
kecilnya kemungkinan untuk perpindahan, mungkin tidak akan berpengaruh bagi
lingkungan. Demikian juga sebaliknya jika kemungkinan terjadinya perpindahan
tinggi namun sumbernya kecil maka juga tidak akan berpengaruh buruk terhadap
lingkungan. Oleh karena itu pengaturan harus difokuskan pada area dimana kedua
kondisi tersebut bertemu. Area tersebut dikenal sebagai “critical source area”.
Penentuan titik titik rawan tersebut menjadi sangat penting dan harus segera
dilakukan di kawasan Bopunjur sehingga eutrofikasi dapat dicegah. Langkah lain
yang juga sangat penting untuk mencegah terjadinya kurasakan lingkungan
perairan pada umumnya, khususnya eutrofikasi adalah kerusakan lingkungan
perairan pada umumnya, khususnya eutrofikasi adalah dengan mengurangi
konsentrasi pencemar dalam limbah cair industri, dan limbah domestik sampai ke
tingkatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebelum limbah tersebut memasuki
perairan umum. Untuk itu maka teknologi pengolahan limbah yang efisien, dan
secara ekonomi dan ekologi menguntungkan sangat dibutuhkan
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari
tinjauan pustaka dan penjelasan di bab sebelumnya, maka dapat disimpulkanbahwa:
· Genera
diatom Coscinodiscus, Chaetoceros, Guinardia, Navicula, Pseudonitzshia, banyak
ditemukan di seluruh perairan Gilimanuk dengan frekuensi kejadian lebih dari 50
% , sedangkan genus yang predominan adalah Ceratium, dan Protoperidinium dari kelompok dinoflagellata. Takson dari
kelompok Copepoda, Polychaeta, Chaetognata, Bivalia, Gastropoda dan Oikopleura
memiliki frekuensi kejadian tinggi tetapi yang memiliki kepadatan tinggi
hanyalah dari Ordo Copepoda terutama Calanoida dengan kelimpahan lebih dari 50
%. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perairan Gilimanuk mempunyai
kelimpahan lebih padat dengan demikian
dapat dikatakan bahwa perairan Gilimanuk cukup subur akan nutrisi.
· fosfor
dan nitrogen merupakan elemen kunci di dalam proses eutrofikasi, di antara
nutrient utama yang terkandung dalam suatu perairan.
· Eutrofikasi
dapat menyebabkan Terjadinya “alga bloom” dan terproduksinya senyawa toksik
yang akan meracuni ikan dan kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi
manusia dan merusak industri perikanan.
· Perlakuan-perlakuan
yang cukup signifikan untuk mengontrol eutrofikasi adalah dengan melakukan
perombakan phospat pada buangan kotoran, pengontrolan phospat yang tersifusi
dari pertanian, perombakan phospat dari deterjen, pengalihan tempat pembuangan
kotoran.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
2010. http://www.trinunnews.com. Cara Cegah Ikan Mati Massal. Diakses
pada tanggal 20 Oktober 2011.
pada tanggal 20 Oktober 2011.
Den
Hartog, C. 1970. The seagrass of the world. North-Holland Publ. Co, Amsmerdam,
275p.
275p.
Finli,
2007. http://finli.blogspot.com/apakah-eutrofikasi-itu.html/. Diakses pada
tanggal 20 Oktober 2011.
tanggal 20 Oktober 2011.
Hallegraeff,
G.M. 1993. A review of harmful algal blooms and their apparent global
Increase. Phycologia, 32 : 79-99.
Increase. Phycologia, 32 : 79-99.
Morse
et al 1993 (The Economic and Environment Impact of Phosphorus Removal
from Wastewater in the European Community), APHA, AWWA, WEF,
(1995),
from Wastewater in the European Community), APHA, AWWA, WEF,
(1995),
Praseno.
D.P. dan Sugestiningsih, 2000. Jenis –
jenis Diatom dan Dinoflagellata Perairan
Teluk Bayur dan Teluk Bungus, Sumatera Barat, Laboratorium Plankton, Balitbang
Lingkungan laut, P3O-LIPI.
Teluk Bayur dan Teluk Bungus, Sumatera Barat, Laboratorium Plankton, Balitbang
Lingkungan laut, P3O-LIPI.
Sharpley,
A.N. 1994. Wheat tillage and water quality in the Southern Plains. Soil
TillagebResearch.
TillagebResearch.
Shumway,
S.E., A review of the effects of algal blooms on shellfish aquaculture. J. World.
Aquacul. Soc., 1990 ,21: 65 – 103.
Aquacul. Soc., 1990 ,21: 65 – 103.
Sutomo,
A.B. & O.H. Arinardi 1978. Penelitian plankton untuk menunjang penangkapan
ikan. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat, Jakarta, Jakarta, 27
ikan. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat, Jakarta, Jakarta, 27
Throndsen,
J. 1978. Preservation and store. Dalam: A. Sournia (ed) Phytoplankton Manual.
Monogr. Oceanogr. UNESCO 6, hal. 69-74
Monogr. Oceanogr. UNESCO 6, hal. 69-74
Wolanski
and Y. Mazda 1990. Longitudinal diffusion in mangrove fringed tidal creeks.
Estuarine, Coastal and Shelf Science. 31 : 541-544.
Estuarine, Coastal and Shelf Science. 31 : 541-544.